KERAJAAN HARU
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pada mulanya
bangsa ini bernama Haru kemudian sering disebut dengan Haro dan akhirnya
dinamai dengan suku bangsa Karo.
Kerajaan Aru atau Haru
merupakan sebuah kerajaan yang pernah berdiri di wilayah pantai timur Sumatera
Utara sekarang. Nama kerajaan ini disebutkan dalam Pararaton (1336) dalam teks
Jawa Pertengahan (terkenal dengan Sumpah Palapa) yang berbunyi sebagai berikut
“Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi
tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun
amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring
Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa”
Bila dialih-bahasakan mempunyai arti : “Beliau, Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan
puasa, Gajah Mada berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara,
saya (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung
Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya
(baru akan) melepaskan puasa. Sementara itu dalam Suma Oriental
disebutkan bahwa kerajaan ini merupakan kerajaan yang kuat Penguasa Terbesar di Sumatera yang
memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan memiliki pelabuhan yang ramai
dikunjungi oleh kapal-kapal asing. Dalam laporannya, Tomé Pires juga
mendeskripsikan akan kehebatan armada kapal laut kerajaan Aru yang mampu
melakukan pengontrolan lalu lintas kapal-kapal yang melalui Selat Melaka pada
masa itu.
Dalam Sulalatus Salatin Haru disebut sebagai
kerajaan yang setara kebesarannya dengan Malaka dan Pasai. Peninggalan
arkeologi yang dihubungkan dengan Kerajaan Haru telah ditemukan di Kota Cina
dan Kota Rantang. Terdapat perdebatan tentang lokasi tepatnya dari pusat
Kerajaan Haru.Winstedt meletakkannya di wilayah Deli yang berdiri kemudian,
namun ada pula yang berpendapat Haru berpusat di muara Sungai Panai.
Groeneveldt menegaskan lokasi Kerajaan Aru berada kira-kira di muara Sungai
Barumun (Padang Lawas) dan Gilles menyatakan di dekat Belawan. Sementara ada
juga yang menyatakan lokasi Kerajaan Aru berada di muara Sungai Wampu (Teluk
Haru/Langkat).
Kerajaan Aru merupakan kerajaan
tertua di sumatera utara,yang hingga kini keberadaannya masih menjadi tanda
Tanya besar.menurut Muhammad yamin dalam “gajah mada pahlawan persatuan bangsa
(2005)”,menyebutkan bahwaa kerajaan ini sangat menimbulkan kemarahan perdana
menteri gajah madaa (1331-1346),karena angkatan bersenjata majapahit berkali
kali gagal menundukkan kerajaan haru yang sanggup bertahan terhadap imperialism
majapahit.kerajaanini terbagi kedalam beberapa periodesisasi ejarah,dimana
keberadaan kerajaaan ini diawali pada abad ke 9 yang disebut dengan kerajaan
aru besitang.
Melalui keturuna raja Aru besitang
inilah kemudian berkembang berbagai kerajaan aru di pesisir timur sumatera
utara,yaitu:kerajaan aru wampum sebagai kerajaan aru-II dan balun aru (aru deli
tua) sebagai kerajaan aru-III (Admansyah,1989:16).kerajaan aru besitang
(800-1024) M telah melakukan hubungan persahabatan dan dagang dengan negeri
negeri di sekitarnya.berdasarkan tulisan adamansyah dalam butir butir sejarah
suku melayu pesisir sumatera timur(1898),kerajaan aru bukanlah suatu kerajaan
aggressor sehingga kerajaan ini mengutamakan persahabatan dengan kerajaan di
sekitarnya.
Negeri-negeri Melayu dipaksa tunduk
dibawah kuasa Singosari, seperti Melayu (Jambi) dan Aru/Haru. Sementara
dengan Champa, Singosari berhasil membangun aliansi melalui perkawinan politik.
Pada abad ke-14, sebagaimana disebutkan dalam Negara Kertagama karangan
Prapanca bahwa Harw (Aru) kemudian menjadi daerah vasal (bawahan) Kerajaan
Majapahit, termasuk juga Rokan, Kampar, Siak, Tamiang, Perlak, Pasai, Kandis
dan Madahaling.Memasuki abad ke-15 Haru tampaknya mulai muncul menjadi kerajaan
terbesar di Sumatera dan ingin menguasai lalu lintas perdagangan di Selat
Melaka. Munculnya utusan-utusan dari Kerajaan Aru pada 1419, 1421, 1423, dan
1431 di istana Kaisar China dan kunjungan Laksamana Cheng Ho yang muslim itu
membuktikan pernyataan itu. Aru menjadi bandar perdagangan yang penting di mata
kaisar China.Kaisar China membalas pemberian raja Aru dengan memberikan hadiah
berupa kain sutera, mata uang (siling) dan juga uang kertas. Mengikut pendapat
Selamat Mulyana, (1981:18) bahwa negeri-negeri di Asia Tenggara yang mengirim
utusan ke China dipandang sebagai negeri merdeka. Hanya negeri yang merdeka
saja yang berhak mengirim utusan ke negeri China untuk menyampaikan upeti atau
persembahan/surat kepada Kaisar China.Oleh karena itu dapat dipastikan Kerajaan
Aru pada abad ke-15 adalah negeri yang merdeka dan berusaha pula untuk
mendominasi perdagangan di sekitar Selat Melaka.
Oleh karena itu, Haru berusaha menguasai Pasai
dan menyerang Melaka berkali-kali, sebagaimana telah disebut dalam Sejarah
Melayu.Menurut Sejarah Melayu (cerita ke-13), kebesaran Kerajaan Haru sebanding
dengan Melaka dan Pasai, sehingga masing-masing menyebut dirinya “adinda”.
Semua utusan dari Aru yang datang ke Melaka harus disambut dengan upacara
kebesaran kerajaan. Utusan Aru yang datang ke Istana China terakhir tahun 1431.
Setelah itu tidak ada lagi utusan Raja Aru yang dikirim untuk membawa
persembahan kepada Kaisar China. Hal ini dapat dipahami karena Aru pada
pertengahan abad ke-15 sudah ditundukkan Melaka dibawah Sultan Mansyur Shah
melaui perkawinan politik.Kekuatan Aru juga dilirik oleh Portugis untuk
dijadikan sekutu melawan Melaka. Akan tetapi hubungan Aru dengan Melaka
tetap harmonis.
Pada saat Sultan Melaka (Sultan Mahmud Shah)
diserang oleh Portugis dan mengungsi di Bintan, Sultan Haru datang membantu
Melaka.Sultan Haru (Sultan Husin) dinikahkan dengan putri sultan Mahmud Shah
pada tahun 1520 M. Banyak orang dari Johor dan Bintan mengiringi putri Sultan
Melaka itu ke Aru. Memasuki abad ke16 M, Kerajaan Aru menjadi medan pertempuran
antara Portugis (penguasa Melaka) dan Aceh. Pasukan Aceh yang pada tahun 1524
berhasil mengusir Portugis dari Pidi dan Pasai kemudian menguber sisa-sisa
pasukan Portugis yang lari ke Aru. Kerajaan Aru diserang Aceh sebanyak dua kali
yakni pada bulan Januari dan November 1539.Aru berhasil dikuasai Aceh dan
Sultan Abdullah ditempatkan sebagai Wakil Kerajaan Aceh di Aru. Ratu Aru
melarikan diri ke Melaka untuk meminta perlindungan kepada Gubernur Portugis,
Pero de Faria.
1.2 rumusan masalah
1. Apa
sajakah latar belakang terbentuknya kerajaan Aru?
2. Bagaimana perkembangan kerajaan Aru
?
3. Bentuk bentuk sistem ekonomi
ndansosial kerajaan Aru?
1.3. tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui latar belakang
terbentuknya kerajaan aru
2. Mengetahui perkembangan kerajaan Aru
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 SEJARAH KERAJAAN ARU
Kerajaan Aru
merupakan kerajaan tertua di Sumatra Utara, yang kini keberadaannya masih
menjadi tanda-tanda besar.Dalam perjalanan Marco Polo di tahun 1292 Kerajaan
Aru tidak disebutkan, diindikasikan adanya 8 (delapan) kerajaan di Pulau
Sumatera yang seluruh penduduknya penyembah berhala. Kunjungan ini bertepatan
dengan pembentukan negara-negara pelabuhan Islam pertama. Beberapa kerajaan
yang disebutkan Ferlec (Perlak), Fansur (Barus),Basman (Peusangan)-di daerah
Bireuen sekarang- , Samudera (kemudian dikenal Pasai) dan Dagroian (Pidie).
Tiga kerajaan lainnya tidak disebutkan. Sumber lain menambahkan Lambri (Lamuri)
dan Battas (Batak).
Haru pertama
kali muncul dalam kronik Cina masa Dinasti Yuan, yang menyebutkan Kublai Khan
menuntut tunduknya penguasa Haru pada Cina pada 1282, yang ditanggapi dengan
pengiriman upeti oleh saudara penguasa Haru pada 1295.Islam masuk ke kerajaan
Haru paling tidak pada abad ke-13. Kemungkinan Haru lebih dulu memeluk agama
Islam daripada Pasai, seperti yang disebutkan Sulalatus Salatin dan
dikonfirmasi oleh Tome Pires. Sementara peduduknya masih belum semua memeluk
Islam, sebagaimana dalam catatan d'Albuquerque (Afonso de Albuquerque)
(Commentarios, 1511, BabXVIII) dinyatakan bahwa penguasa kerajaan-kerajaan
kecil di Sumatera bagian Utara dan Sultan Malaka biasa memiliki orang kanibal
sebagai algojo dari sebuah negeri yang bernama Aru.Juga dalam catatan Mendes
Pinto (1539), dinyatakan adanya masyarakat 'Aaru' di pesisir Timur Laut
Sumatera dan mengunjungi rajanya yang muslim, sekitar dua puluh tahun
sebelumnya, Duarte Barbosa sudah mencatat tentang kerajaan Aru yang ketika itu
dikuasai oleh orang-orang kanibal penganut paganisme. Namun tidak ditemukan
pernyataan kanibalisme dalam sumber-sumber Tionghoa zaman itu.
Terdapat
indikasi bahwa penduduk asli Haru berasal dari suku Karo, seperti nama-nama
pembesar Haru dalam Sulalatus Salatin yang mengandung nama dan marga Karo. Pada
abad ke-15 Sejarah Dinasti Ming
menyebutkan bahwa "Su-lu-tang Husin", penguasa Haru, mengirimkan
upeti pada Cina tahun 1411. Setahun kemudian Haru dikunjungi oleh armada
Laksamana Chen Ho. Pada 1431 Cheng Ho kembali mengirimkan hadiah pada raja
Haru, namun saat itu Haru tidak lagi membayar upeti pada Cina. Pada masa ini
Haru menjadi saingan Kesultanan Malaka sebagai kekuatan maritim di Selat
Malaka. Konflik kedua kerajaan ini dideskripsikan baik oleh Tome Pires dalam Suma Oriental maupun dalam Sejarah
Melayu.
Pada abad ke-16
Haru merupakan salah satu kekuatan penting di Selat Malaka, selain Pasai,
Portugal yang pada 1511 menguasai Malaka, serta bekas Kesultanan Malaka yang
memindahkan ibukotanya ke Bintan. Haru menjalin hubungan baik dengan Portugal,
dan dengan bantuan mereka Haru menyerbu Pasai pada 1526 dan membantai ribuan
penduduknya. Hubungan Haru dengan Bintan lebih baik daripada sebelumnya, dan
Sultan Mahmud Syah menikahkan putrinya dengan raja Haru, Sultan Husain. Setelah
Portugal mengusir Sultan Mahmud Syah dari Bintan pada 1526 Haru menjadi salah
satu negara terkuat di Selat Malaka. Namun ambisi Haru dihempang oleh munculnya
Aceh yang mulai menanjak. Catatan Portugal menyebutkan dua serangan Aceh pada
1539, dan sekitar masa itu raja Haru Sultan Ali Boncar terbunuh oleh pasukan Aceh. Istrinya, ratu
Haru, kemudian meminta bantuan baik pada Portugal di Malaka maupun pada Johor
(yang merupakan penerus Kesultanan Malaka dan Bintan). Armada Johor
menghancurkan armada Aceh di Haru pada 1540.
Aceh kembali menaklukkan Haru
pada 1564. Sekali lagi Haru berkat bantuan Johor berhasil mendapatkan
kemerdekaannya, seperti yang dicatat oleh Hikayat Aceh dan sumber-sumber Eropa. Namun pada abad akhir
ke-16 kerajaan ini hanyalah menjadi bidak dalam perebutan pengaruh antara Aceh
dan Johor.
Kemerdekaan
Haru baru benar-benar berakhir pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda dari
Aceh, yang naik tahta pada 1607. Dalam surat Iskandar Muda kepada Best
bertanggal tahun 1613 dikatakan, bahwa Raja Aru telah ditangkap; 70 ekor gajah
dan sejumlah besar persenjataan yang diangkut melalui laut untuk melakukan
peperangan-peperangan di Aru.Dalam masa ini sebutan Haru atau Aru juga
digantikan dengan nama Deli.
Wilayah Haru kemudian mendapatkan kemerdekaannya dari Aceh pada 1669, dengan
nama Kesultanan Deli. Hingga terjadi sebuah pertentangan dalam pergantian
kekuasaan pada tahun 1720 menyebabkan pecahnya Deli dan dibentuknya Kesultanan
Serdang di tahun 1723.
2.2 KEBERADAAN KERAJAAN ARU(KARO)
Keberadaan Kerajaan
Haru-Karo (Kerajaan Aru) mulai menjadi kerajaan besar di Sumatera, namun tidak
diketahui secara pasti kapan berdirinya. Namun demikian, Brahma Putra, dalam
bukunya "Karo dari Zaman ke Zaman" mengatakan bahwa pada abad 1
Masehi sudah ada kerajaan di Sumatera Utara yang rajanya bernama "Pa
Lagan". Menilik dari nama itu merupakan bahasa yang berasal dari suku
Karo. Mungkinkah pada masa itu kerajaan haru sudah ada?, hal ini masih
membutuhkan penelitian lebih lanjut.Berdasarkan sejumlah literatur, pusat
Kerajaan Aru dinyatakan berpindah-pindah. Sebagian menyebut di Telok Aru di
kaki Gunung Seulawah (Aceh Barat), kemudian di Lingga, Barumun dan bahkan di
Deli Tua, Kabupaten Deli Serdang. Namun demikian, aktivitas arkeologi yang
telah dilakukan berkesimpulan bahwa pusat Kerajaan Aru berada di Kota Rentang
(Hamparan Perak) di Kabupaten Deli Serdang dari abad ke-13 hingga 14 Masehi,
sebelum akhirnya pindah ke Deli Tua dari abad 14 hingga 16 M akibat serangan
dari Aceh. Hipotesa bahwa Kota Rentang adalah pusat Kerajaan Aru banyak
didukung oleh faktor seperti jalur dari Karo Plateau maupun Hinterland menuju
pantai timur yang terfokus pada Sei Wampu dan Muara Deli. Di kawasan itu juga
ditemukan ragam keramik yang berasal dari China, Muangthai, Srilangka, serta
koin atau mata uang Arab dari abad ke-13 hingga 14," katanya.
Temuan yang paling menakjubkan adalah ditemukannya batu kubur (nisan) yang
tersebar di situs sejarah penting tersebut. Batu kubur yang terbuat dari batu
cadas (volcanic tuff) yang ditemukan memiliki ornamentasi dalam berbagai ukuran
dan sebagian bertuliskan Arab-Melayu dan banyak menunjukkan kemiripan dengan
yang ditemukan di Aceh. Di rawa-rawa di kawasan yang sama juga ditemukan
kayu-kayu besar yang diduga merupakan bekas istana Kerajaan Aru serta batu-batu
besar yang diduga bekas bangunan candi. Juga ditemukan bongkahan perahu tua
dengan panjang 30 hingga 50 meter yang menunjukkan bahwa Kota Rentang merupakan
pusat niaga yang padat pada abad tersebut.
Kerajaan
Haru-Karo diketahui tumbuh dan berkembang bersamaan waktunya dengan kerajaan
Majapahit, Sriwijaya, Johor, Malaka dan Aceh. Terbukti karena kerajaan Haru
pernah berperang dengan kerajaan-kerajaan tersebut. Kerajaan Haru pada masa
keemasannya, pengaruhnya tersebar mulai dari Aceh Besar hingga ke sungai Siak
di Riau.Terdapat suku Karo di Aceh Besar yang dalam bahasa Aceh disebut Karee.
Keberadaan suku Haru-Karo di Aceh ini diakui oleh H. Muhammad Said dalam
bukunya "Aceh Sepanjang Abad", (1981). Ia menekankan bahwa penduduk
asli Aceh Besar adalah keturunan mirip Batak. Namun tidak dijelaskan keturunan
dari Batak mana penduduk asli tersebut. Sementara itu, H. M. Zainuddin dalam
bukunya "Tarich Atjeh dan Nusantara" (1961) mengatakan bahwa di
lembah Aceh Besar disamping terdapat kerajaan Islam terdapat pula kerajaan
Karo. Selanjunya disebutkan bahwa penduduk asli atau bumi putera dari ke-20
mukim bercampur dengan suku Karo. Brahma Putra, dalam bukunya "Karo
Sepanjang Zaman" mengatakan bahwa raja terakhir suku Karo di Aceh Besar
adalah Manang Ginting Suka.
Kelompok karo
di Aceh kemudian berubah nama menjadi "Kaum Lhee Reutoih" atau Kaum
Tiga Ratus. Penamaan demikian terkait dengan peristiwa perselisihan antara suku
Karo dengan suku Hindu di sana yang disepakati diselesaikan dengan perang
tanding. Sebanyak tiga ratus (300) orang suku Karo akan berkelahi dengan empat
ratus (400) orang suku Hindu di suatu lapangan terbuka. Perang tanding ini dapat
didamaikan dan sejak saat itu suku Karo disebut sebagai kaum tiga ratus dan
kaum Hindu disebut kaum empat ratus.Dikemudian hari terjadi pencampuran antar
suku Karo dengan suku Hindu dan mereka disebut sebagai kaum Ja Sandang.
Golongan lainnya adalah Kaum Imeum Peuet dan Kaum Tok Batee yang merupakan
campuran suku pendatang, seperti: Kaum Hindu, Arab, Persia, dan lainnya.
Terdapat perdebatan tentang lokasi tepatnya dari pusat Kerajaan Haru. Winstedt
meletakkannya di wilayah Deli yang berdiri kemudian, namun ada pula yang
berpendapat Haru berpusat di muara Sungai Panai. Groeneveldt menegaskan lokasi
Kerajaan Aru berada kira-kira di muara Sungai Barumun (Padang Lawas) dan Gilles
menyatakan di dekat Belawan. Sementara ada juga yang menyatakan lokasi Kerajaan
Aru berada di muara Sungai Wampu (Teluk Haru/Langkat).
2.3 PENGUASA KERAJAAN HARU
Didalam kerajaan aru munculnya
Sejarah Melayu karya Tun Sri Lanang (1612) disebutkan bahwa Kerajaan Aru pada
periode 1477-1488 dipimpin oleh Maharaja Diraja, putra Sultan Sujak “…yang
turun daripada Batu Hilir di kota Hulu, Batu Hulu di kota Hilir”. Aru menyerang
Pasai karena Raja Pasai menghina utusan Raja Aru yang ingin menjalin hubungan
diplomatik dengan Kerajaan Pasai. T.Luckman Sinar (2007) menjelaskan bahwa Batu
Hilir maksudnya adalah Batak Hilir dan Batu Hulu adalah Batak Hulu. Menurut
beliau ada kesalahan tulis antara wau pada akhir “batu” dengan kaf, sehingga
yang tepat adalah “…yang turun daripada Batak Hilir di kota Hulu, Batak Hulu,
di kota Hilir.Dari nama-nama pembesar-pembesar Haru yang disebut dalam Sejarah
Melayu, seperti nama Serbayaman Raja Purba, Raja Kembat, merupakan nama yang
mirip dengan nama-nama Karo. Sebagaimana kita ketahui di Deli Hulu ada daerah
bernama Urung Serbayaman, yang merupakan nama salah satu Raja Urung Melayu di
Deli yang berasal dari Suku Karo.
Tetapi nama tokoh Maharaja Diraja
anak Sultan Sujak masih perlu diperbandingkan dengan sumber lain untuk
membuktikan kebenarannya. Sebutan Maharaja Diraja adalah sebuah gelar bagi
seorang raja, bukan nama sebenarnya dan apakah Maharaja Diraja adalah Raja Aru
yang pertama atau apakah itu gelar dari Sultan Sujak? Kedua pertanyaan ini
sukar untuk memastikannya.Dalam catatan Dinasti Ming, disebutkan, pada 1419
anak Raja Aru bernama Tuan A-lasa mengirim utusan ke negeri China untuk membawa
upeti.Nama tokoh inipun sukar mencari pembenarannya karena tidak ada sumber bandingannya
dan apakah padanannya dalam bahasa Melayu atau Indonesia. Namun demikian, nama
Sulutang Hutsin yang disebutkan dalam catatan Dinasti Ming dapat dianggap benar
karena dapat diperbandingkan dengan Sejarah Melayu. Sulutang Hutsin adalah
sebutan orang China untuk mengucapkan nama Sultan Husin.
Nama Sultan Husin juga telah
disebut-sebut dalam Sejarah Melayu, yaitu sebagai penguasa Aru sekaligus
menantu Sultan Mahmud Shah (Raja Melaka) yang terakhir 1488-1528. Disebutkan,
Sultan Husin pernah datang ke Kampar bersama-sama dengan Raja-raja Melayu
lainnya seperti Siak, Inderagiri, Rokan dan Jambi atas undangan Sultan Mahmud
Shah yang ketika itu sudah membangun basis pertahanan di Kampar karena Melaka
sudah dikuasai Portugis untuk membangun aliansi Melayu melawan Portugis.
Berdasarkan keterangan itu dapat dikatakan bahwa nama Sultan Husin sebagaimana
disebut dalam catatan China dan Sejarah Melayu secara historis dapat
dibenarkan.
2.4 KEKUASAAN KERAJAAN ARU
Dilihat dari
segi pencapaiannya Kebesaran Kerajaan
Aru mungkin tidak sebesar kerajaan Seriwijaya dan Majapahit, namun yang jelas Nagarakretagama
menyebutkan bahwa Kerajaan “Halu” telah tunduk kepada Kerajaan Majapahit.
Istilah “tunduk kepada Majapahit” di sini bisa bermakna bahwa Kerajaan Aru
pernah menjadi sebuah kerajaan yang merdeka. Suma Oriental menyebutkan bahwa
kerajaan ini merupakan “Penguasa Terbesar di Sumatra” yang memiliki wilayah
kekuasaan luas dan memiliki pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh kapal-kapal
asing. Dalam laporannya, Tome Pires juga mendeskripsikan akan kehebatan armada
kapal laut Kerajaan Aru yang mampu melakukan pengontrolan lalu lintas
kapal-kapal yang melalui Selat Melaka masa itu. Dalam Sulalatus Salatin Haru
disebut sebagai kerajaan yang setara kebesarannya dengan Malaka dan Pasai.
Berikut uraian Nagarakretagama
yang menguraikan tetang adanya kerajaan Aru yang telah tunduk
kepada Majapahit; “Kemudian
akan diperinci demi pulau negara bawahan, paling dulu Melayu: Jambi, Palembang,
Toba dan Darmasraya. Pun ikut juga disebut Daerah Kandis, Kahwas, Minangkabau,
Siak, Rokan, Kampar dan Pane Kampe, Haru serta Mandailing, Tamihang, negara
perlak dan padang Lawas dengan Samudra serta Lamuri, Batan, Lampung dan juga
Barus. Itulah terutama negara-negara Melayu yang telah tunduk. Negara-negara di
pulau Tanjungnegara : Kapuas-Katingan, Sampit, Kota Ungga, Kota Waringin,
Sambas, Lawai ikut tersebut. Kadandangan, Landa, Samadang dan Tirem tak
terlupakan. Sedu, Barune, Kalka, Saludung, Solot dan juga Pasir Barito, Sawaku,
Tabalung, ikut juga Tanjung Kutei. Malano tetap yang terpenting di pulau
Tanjungpura”.
Sekarang ini,
nama Kerajaan Aru seolah-olah hilang dan berita tentang kerajaan ini sangat
minim terdengar, kalah pamor dengan kerajaan-kerajaan lain yang pernah jaya di
Nusantara seperti Kerajaan Majapahit, Singasari, Mataram, Pasai, Pajajaran,
Sriwijaya, dan lain-lain.Seperti halnya kerajaan-kerajaan Nusantara yang
lainnya, pusat Kerajaan Aru ternyata berpindah-pindah. Berdasarkan sejumlah
literatur, pusat Kerajaan Aru dinyatakan berpindah-pindah. Sebagian sumber
menyebut pusat kerajaan ini berada di Telok Aru di kaki Gunung Seulawah, Aceh
Barat), kemudian di Lingga, Barumun, dan bahkan di Deli Tua, Kabupaten Deli
Serdang. Namun berdasarkan hasil penemuan arkeologi dapat disimpulkan bahwa
pusat Kerajaan Aru berada di Kota Rentang (Hamparan Perak) di Kabupaten Deli
Serdang dari abad ke-13 hingga 14 Masehi, sebelum akhirnya pindah ke Deli Tua
dari abad 14 hingga 16 M akibat serangan dari Aceh.
Kronik Sejarah Dinasti Yuan
menyebutkan bahwa Kubilai Khan pernah meminta kepada penguasa Kerajaan Aru
untuk tunduk kepada Cina. Menanggapi pernyataan Kubilai Khan, penguasa Aru
akhirnya berusaha menjalin kerjasama diplomatik dengan Cina. Kerjasama ini
ditandai dengan pengiriman utusan ke Cina sebagai sebuah tanda bahwa Kerajaan
Aru bersahabat dengan Cina. Pada zaman Majapahit sedang berkuasa di Jawa,
Kerajaan Aru disebut dalam Nagarakretagama berada di bahwa kekuasaan Majapahit (pada
abad ke-14). Sejarawan dari Universitas Sumatera Utara, Tuanku Luckman Sinar,
mengatakan, bahwa pada berikutnya, yakni abad ke-15 M, Kerajaan Aru merupakan
kerajaan terbesar di Sumatra dan memiliki kekuatan yang dapat menguasai lalu
lintas perdagangan di Selat Malaka. Dengan begitu, dapat disebutkan bahwa pada
abad ke-15 kekuasaan Majapahit tengah melemah dan Kerajaan Aru berhasil
melepaskan diri kekuasaan Majapahit.Kata-kata “Aru yang Bermusuhan” dalam Pararaton
menerangkan kemungkinan hubungannya keberadaan Kerajaan Aru dengan ekpedisi
Pamalayu yang dilakukan oleh Kertanegara pada 1292 M. Seorang kebangsaan Persia
menyebutkan bahwa Aru pada 1310 M berhasil bangkit kembali menjadi kerajaan
yang makmur (mungkin merdeka, bukan di bawah kerajaan lain). Kondisi ini ada
hubungannya dengan yang terjadi di Jawa, yaitu runtuhnya Kerajaan Singasari dan
mulai munculnya Kerajaan Majapahit; dan pada awalnya Kerajaan Majapahit belum
melakukan ekspansi kepada Kerajaan Aru. Sedangkan pada 1365 M disebutkan bahwa
Kerajaan Aru ditaklukkan oleh Majapahit. Pendapat yang menyebutkan tentang
Kerajaan Aru pada 1365 M sebagai bagian dari taklukan Kerajaan Majapahit,
tercatat dalam Nagarakretagama.
2.5 SISTEM SOSIAL, EKONOMI DAN
BUDAYA KERAJAAN HARU
System ekonomi ,social, san ekonomi yang pada
kerajaan Aru dan penduduknya adalah telah memeluk agama Islam, sebagaimana
disebutkan dalam Yingyai Shenglan (1416). Dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan
dalam Sejarah Melayu, kerajaan tersebut diislamkan oleh Nakhoda Ismail dan
Fakir Muhammad. Keduanya merupakan pendakwah dari Madinah dan Malabar, yang
juga mengislamkan Merah Silu, Raja Samudera Pasai pada pertengahan abad ke-13.
Oleh karena itu, dapat dipastikan agama Islam telah sampai ke Aru paling tidak
sejak abad ke-13. Kesimpulan itu diperoleh berdasarkan data arkeologis berupa
batu nisan Sultan Malikus Saleh di Geudong, Lhok Seumawe yang bertarikh
1270-1297, dan kunjungan Marcopolo ke Samudera Pasai tahun 1293. Kedua sumber
itu sudah valid dan kredibel.Sumber-sumber China menyebutkan bahwa adat
istiadat seperti perkawinan, adat penguburan mayat, bahasa, pertukangan, dan
hasil bumi Kerajaan Aru sama dengan Kerajaan Melaka, Samudera dan Jawa. Mata
pencaharian penduduknya adalah menangkap ikan di pantai dan bercocok tanam.
Tetapi karena tanah negeri itu tidak begitu sesuai untuk penanaman padi,maka
sebagian besar penduduknya berkebun menanam kelapa, pisang dan mencari hasil
hutan seperti kemenyan. Mereka juga berternak unggas, bebek, kambing.
Peninggalan
peninggalan arkeologi di Kota Cina menunjukkan wilayah Haru memiliki hubungan
dagang dengan Cina dan India. Namun dalam catatan Ma Huan, tidak seperti Pasai
atau Malaka, pada abad ke-15 Haru bukanlah pusat perdagangan yang besar.
Agaknya kerajaan ini kalah bersaing dengan Malaka dan Pasai dalam menarik minat
pedagang yang pada masa sebelumnya aktif mengunjungi Kota Cina. Raja-raja Haru
kemudian mengalihkan perhatian mereka ke perompakan. Sebagian penduduknya juga sudah
mengkonsumsi susu (maksudnya mungkin susu kambing).
Apabila pergi ke hutan mereka membawa panah
beracun untuk perlindungan diri. Wanita dan laki-laki menutupi sebagian tubuh
mereka dengan kain, sementara bagian atas terbuka. Hasil-hasil bumi negeri itu
mereka barter dengan barang-barang dari pedagang asing seperti keramik, kain
sutera, manik-manik dan lain-lain. Dengan bukti-bukti itu secara tertulis,
jelas Kerajaan Aru memang pernah wujud di Pantai Timur Sumatera paling tidak
sejak abad ke-16.
2.6 BUKTI-BUKTI PENINGGALAN
KERAJAAN ARU
Pembuktian
dari adanya peningggalan peninggalan dari sebuah kerajaan adalah haruslah
dibuktikan dengan bukti-bukti kongkrit bekas peninggalan sejarah kerajaan
tersebut. Dalam pemaparan sebelumnya telah dijelaskan bagaimana sejarah
kerajaan Aru. Mulai dari kerajaan Aru itu dibentuk dan berkembang hingga
akhirnya hancur dan berganti nama menjadi kerjaan Deli.Dalam pemaparan diatas
dijelaskan bahawa pusat dari kerajaan Aru berpindah-pindah, mulai dari Kota
Rentang hingga akhirnya di Deli Tua. Dalam bagian ini saya akan memaparkan
beberapa bukti peninggalan dari kerajaan Aru. Bukti-bukti Arkeologis yang telah
ditemukan dikota Rentang, seperti ditemukannya Batu Kubur (Nisan) yang trbuat
dari Batu Cadas dengan ornamentasi Jawi dimana nisan sejenis ini juga banyak
ditemukan di Aceh. Hal ini mendukung bahwa saat kerajaan Aru berpusat di
Kota Rentang, raja dan masyarakatnya menganut agama Islam.Tak hanya Batu Nisan
saja, di daerah Kota Rentang ini juga ditemukan mata uang yang berasal di abad
ke 13 hingga abad ke 14. Hasil penelitian di Kota Rentang memunculkan dugaan
bahwa lokasi tersebut merupakan bagian dari jaringan pemukiman dan aktivitas
perdagangan. Hal ini ditunjang oleh tinggalan arkeolog seperti keramik,
tembikar, artefak batu, sisa-sisa tulang, dan juga mata uang serta batu nisan
yang sebelumnya juga telah saya jabarkan. Beliau menyatakan bahwa kota rentang
menjadi pusat perniagaan jkarena ditunjangnya dari peninggalan-peninggalan yang
ada, seperti mata uang dan keramik serta tembikar.
Seperti kita ketahui bahwa keramik
merupakan suatu komoditi dari luar Nusantara. Tak hanya sebatas mata uang,
keramik, tembikar, batu nisan, ternyata di daerah kota Rentang juga ditemukan
potongan kayu besar bekas kapal yang panjangnya antara 30 hingga 50 meter. Tak
hanya itu didaerah rawa-rawa ditemukaan kayu-kayu besar yang diduga merupakan
bekas istana Kerajaan Aru serta batu-batu besar yang diduga bekas bangunan
candi. Aneka keramik yang ditemukan di kota Rentang berasal dari :
·
Dinasti Yuan pada abad ke 13 hingga abad
ke 14.
·
Dinasti Ming pada abad ke 15.
·
Keramik Vietnam pada abad ke 14 hingga
16
·
Keramik Thailand pada Abad ke 14 hingga
16
·
Keramik Burama pada abad ke 14 hingga
16.
·
Keramik Khamer pada abad ke 12 hingga
14.
Dan
nisan nisan yang ditemukan bertuliskan
syahdat namun tidak dibubui angka tahun.
Setelah membahas bukti peninggalan sejarah di pusat kota Rentang maka
selanjutnya saya akan memaparkan bukti-bukti peninggalan kerajaan Aru yang
terdapat di daerah Deli Tua.Deli Tua merupakan pusat terakhir kerajaan Aru. Di
daerah ini juga banyak ditemukan bukti-bukti peninggalan sejarah Kerajaan aru.
Bukti-bukti peninggalan kerajaan Aru di Deli Tua yang masi eksis hingga
sekarang adalah Benteng pertahana kerajaan Aru, yang dikenal dengan sebutan
Benteng Putri Hijau. Catatan resmi tentang benteng ini dapat diperoleh dari
catatan P.J. Vet dalam bukunya Het Lanschap Deli op Sumatra pada tahun
1866-1867 maupun anderson pada tahun 1823. Dimana dalam catatan itu digambarkan
bahewa di Deli Tua terdapat benteng tua berbatu yang tingginya mencapai 30 kaki
dan sesuai untuk pertahanan.
Tak hanya benteng pertahanan saja, menurut
Pinto, penguasa Portugis di Malaka tahun 1512 hingga 1515 bahwa Aru mempunyai
sebuah meriam besar yang dibeli dari seorang pelarian Portuggis. Temuan lain
yang dapat ditemukan di daerah Deli Tua secara Umum dan di daerah sekitar
Bententeng secara Khusus adalah mata uang Aceh. Dari penemuan itu maka
terbuktilah bahwa saat itu kerajaan Aceh benar-benar menyerang Aru dengan
taktik menyogok pengawal kerajaan dengan mata uang. Dan kisah yang menyatakan
taktik kerajaan Aceh menyerang dengan menembakkan meriam berpeluru mata uang
emas juga dapat dikatakan benar karena memiliki bukti nyata.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Kerajaan Aru merupakan kerajaan tertua di sumatera
utara,yang hingga kini keberadaannya masih menjadi tanda Tanya besar.menurut
Muhammad yamin dalam “gajah mada pahlawan persatuan bangsa (2005)”,menyebutkan
bahwaa kerajaan ini sangat menimbulkan kemarahan perdana menteri gajah madaa
(1331-1346),karena angkatan bersenjata majapahit berkali kali gagal menundukkan
kerajaan haru yang sanggup bertahan terhadap imperialism majapahit.kerajaanini
terbagi kedalam beberapa periodesisasi ejarah,dimana keberadaan kerajaaan ini
diawali pada abad ke 9 yang disebut dengan kerajaan aru besitang.
Melalui keturuna raja Aru besitang
inilah kemudian berkembang berbagai kerajaan aru di pesisir timur sumatera
utara,yaitu:kerajaan aru wampum sebagai kerajaan aru-II dan balun aru (aru deli
tua) sebagai kerajaan aru-III (Admansyah,1989:16).kerajaan aru besitang
(800-1024) M telah melakukan hubungan persahabatan dan dagang dengan negeri
negeri di sekitarnya.berdasarkan tulisan adamansyah dalam butir butir sejarah
suku melayu pesisir sumatera timur(1898),kerajaan aru bukanlah suatu kerajaan
aggressor sehingga kerajaan ini mengutamakan persahabatan dengan kerajaan di
sekitarnya.
Nama Kerajaan Aru sendiri pertama
kali muncul dalam kronik Cina masa Dinasti Yuan, yang menyebutkan Kublai Khan
menuntut tunduknya penguasa Haru pada Cina pada 1282, yang ditanggapi dengan
pengiriman upeti oleh saudara penguasa Haru pada 1295. Kerajaan haru pun
mempunyai suku suku seperti suku karo,suku pakpak,mandailing,toba dan lainnya.
3.2 SARAN
Dengan
mempelajari makalah tentang kerajaan aru diatas,maka kita dapat mengetahui hal
hal sebagai berikut:
1. Pentingnya
sejarah kerjaan aru dalam masyarakat yang ada di sumatera utara
2. Membangun
kembali daerah daerah otonom dari kerajaan aru yang sempat diruntuhkan oleh
kerajaaan majapahit
3. Memfokuskan
perjuangan untuk tujuan yang konkret dan
jelas dalam mengetahui kerajaan aru dan juga bagi semua etnis-etnis Indonesia
lainnya, dan tetap didalam kerangka NKRI dengan semua aturan dan
perundang-ungangannya dan perkembangannya.
4. Pelestarianbudaya
dan kultur Karo. Budaya dan kultur, pelestarian dan perkembangannya merupakan
pertanda yang jelas adanya perkembangan atau kemajuan suatu masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Putro, Brahmana. 1981.karo dari jaman ke jaman. Yayasan
Massa.Medan
Azhari ,Ichwan ,Syaiful Syafri.
2009. Jejeak “sejarah dan kebudayaan
melayu di Sumatera Utara”. Cipta
Mandiri, Medan
Sinar, Tengku Luckman. 2011.sejarah Medan tempoe doeloe.sinar budaya
group.medan